Peta Himalaya I

:T.W.

Aku ingat hari-hari yang panjang itu, membekas tak berarah seolah-olah kita hanya memegang peta tua yang tak kalah rapuh dalam kenangan. Waktu tak berarti di tempat ini. Ingatan melompat-lompat melewati sekian masa. Hanya ada keheningan di puncak-puncak gunung. Di puncak rasa dan diri yang hanya kita kenali masing-masing.

Kedirian yang berkali-kali dihancurkan. Berkali-kali dibangun. Tak kenal lelah. Lalu butiran pasir yang kerap mengecap mata. Perih tak tanggung-tanggung. Membuatmu menangisi diri sekian ribu kali lagi. Seolah menggenapi, cry me a river, tangisan yang menjadi sungai-sungai menuju lautan.

Aku tak tahu apakah dari puncak ini aku akan mengalir bersama Brahmaputra ataupun menuju Gangga. Semuanya menuju Hindia. Perahu yang tak tertambat hanya menawarkan kita masing-masing kayuh. Di Pokhara kita belajar mengayuh perahu kayu dan membiarkan diri kita tenggelam di danaunya, mengamati Puncak Himalaya yang buram dalam musim penghujan.

Mungkin luka-luka di sekujur tubuh, hati dan jiwa telah terbasuh dalam perjalanan ini. Ataukah dia terbuka kembali dan kita saling menjahitnya lagi satu dengan yang lain, memakai benang yang baru: kekinian. Kita, para penyembuh yang terluka. Di sanalah letak bintang lahir kita bersinggungan.

Di atas puncak-puncak gunung, aku berbicara pada bumi. Akan cara-cara yang kita tempuh ketika kita turun. Antara mengalir dan terjun. Antara mengetahui kapan memecah dan kapan menyatu. Mengetahui dengan pasti bahwa kita akan kembali pada segalanya.